Watercolor adalah media pertamaku memulai belajar menggambar secara otodidak pada tahun 2016 lalu. Senang saat menggunakannya, tapi sering tidak puas dengan hasilnya. Di masa pandemi covid-19 tahun 2021 aku memutuskan ikut kelas gambar di Carrot Academy. Awalnya ingin bisa menggambar dengan watercolor. Tapi untuk pemula seperti aku, harus ikut kelas gambar basic dulu (menggambar realis dengan pensil 2B). Setelah materi selesai, lanjut ke kelas watercolor, tapi aku hanya bertahan sebulan karena merasa watercolor itu sulit sekali, sulit mengontrol airnya. Singkat cerita, aku jadi seperti jago menggambar hasil dari kelas realis. Aku menggunakan media yang cocok dengan karakterku, oil pastel. Sudah banyak karya oil pastel yang aku buat, tapi kadang ada keraguan di dalam hatiku. Apa benar karya seperti ini yang aku inginkan? Walaupun saat menggunakan oil pastel lebih banyak aku suka hasilnya dibandingkan dengan hasil watercolor. Tapi saat proses menggambarnya ada ketakukan pada diriku, takut tidak presisi, takut sumber cahaya antar objek tidak sama, takut warna bayangannya terlalu terang, takut hasilnya tidak bagus. Selalu banyak takutnya yang mungkin tanpa aku sadari bisa membuat stres juga. Padahal niatku berkarya itu untuk berbahagia, healing.
Pernah satu hari aku ajak mas suami melihat pameran Ibu Nunung WS di Galeri Nasional Indonesia. Aku melihat beberapa karya beliau menggunakan watercolor hanya dengan dua goresan kuas, berjudul Self Portrait. Aku kaget sekali, bagaimana bisa Ibu Nunung menyederhanakan bentuk rupa yang rumit hanya menjadi dua goresan saja? Bagaimana caranya? Bagaimana cara pandangnya? Dijelaskan di dinding galeri bahwa beliau suka menyederhanakan objek secara bebas, bahkan melanggar kaidah-kaidah bentuk dan anatomi figuratif. Di dalam hati, aku juga ingin seperti beliau, seniman yang bebas menggoreskan kuas tanpa perlu khawatir tentang bentuk, sumber cahaya, dan bayangan. Ada rasa rindu dengan watercolor setelah melihat karya beliau.
Di tahun ketigaku berkarya dengan oil pastel. Keraguan hatiku semakin menjadi-jadi. Akhirnya ku coba lagi menggambar dengan watercolor. Setelah dicoba, tetap aku tidak suka dengan hasilnya. Tapi bahagia sekali saat proses menggambarnya, seperti dulu, menenangkan, healing. Tapi kali ini aku lebih semangat untuk belajar, tidak langsung menyerah. Ku cari lagi referensi gambar watercolor yang sesuai karakterku. Semakin dicari, semakin algoritma memunculkan banyak watercolor artist yang karyanya bagus-bagus. Aku pun mulai paham teknik apa yang hasilnya sesuai keinginanku, wet on wet. Seperti kata watercolor artist yang aku temukan di Instagram “that’s what’s unique about using watercolor, we can’t get the same work as before”. Karena menggambar wet on wet adalah membiarkan air mewarnai gambar itu sendiri. Ketika aku memahami teknik ini, saat itulah aku jatuh cinta lagi sama watercolor.
Seperti teori “the art of letting things happen” oleh Taoisme yang berarti membiarkan segala sesuatu terjadi secara alami tanpa paksaan atau usaha yang berlebihan. Teknik wet on wet pada watercolor juga membiarkan air membentuk gambarnya sendiri. Walaupun karya watercolorku masih sedikit dan itupun hanya beberapa yang aku sangat suka hasilnya. Tapi prosesnya itu healing sekali. Kuas yang basah bercampur warna yang menari diatas kertas yang basah. Memang saat basah belum jelas bentuknya, tapi ketika sudah kering, jadilah the art of letting water happen. 🤍
Salam,
Suci
Jatuh Cinta (Lagi) Sama Watercolor
Friday, August 8, 2025
Watercolor adalah media pertamaku memulai belajar menggambar secara otodidak pada tahun 2016 lalu. Senang saat menggunakannya, tapi sering tidak puas dengan hasilnya. Di masa pandemi covid-19 tahun 2021 aku memutuskan ikut kelas gambar di Carrot Academy. Awalnya ingin bisa menggambar dengan watercolor. Tapi untuk pemula seperti aku, harus ikut kelas gambar basic dulu (menggambar realis dengan pensil 2B). Setelah materi selesai, lanjut ke kelas watercolor, tapi aku hanya bertahan sebulan karena merasa watercolor itu sulit sekali, sulit mengontrol airnya. Singkat cerita, aku jadi seperti jago menggambar hasil dari kelas realis. Aku menggunakan media yang cocok dengan karakterku, oil pastel. Sudah banyak karya oil pastel yang aku buat, tapi kadang ada keraguan di dalam hatiku. Apa benar karya seperti ini yang aku inginkan? Walaupun saat menggunakan oil pastel lebih banyak aku suka hasilnya dibandingkan dengan hasil watercolor. Tapi saat proses menggambarnya ada ketakukan pada diriku, takut tidak presisi, takut sumber cahaya antar objek tidak sama, takut warna bayangannya terlalu terang, takut hasilnya tidak bagus. Selalu banyak takutnya yang mungkin tanpa aku sadari bisa membuat stres juga. Padahal niatku berkarya itu untuk berbahagia, healing.
Pernah satu hari aku ajak mas suami melihat pameran Ibu Nunung WS di Galeri Nasional Indonesia. Aku melihat beberapa karya beliau menggunakan watercolor hanya dengan dua goresan kuas, berjudul Self Portrait. Aku kaget sekali, bagaimana bisa Ibu Nunung menyederhanakan bentuk rupa yang rumit hanya menjadi dua goresan saja? Bagaimana caranya? Bagaimana cara pandangnya? Dijelaskan di dinding galeri bahwa beliau suka menyederhanakan objek secara bebas, bahkan melanggar kaidah-kaidah bentuk dan anatomi figuratif. Di dalam hati, aku juga ingin seperti beliau, seniman yang bebas menggoreskan kuas tanpa perlu khawatir tentang bentuk, sumber cahaya, dan bayangan. Ada rasa rindu dengan watercolor setelah melihat karya beliau.
Di tahun ketigaku berkarya dengan oil pastel. Keraguan hatiku semakin menjadi-jadi. Akhirnya ku coba lagi menggambar dengan watercolor. Setelah dicoba, tetap aku tidak suka dengan hasilnya. Tapi bahagia sekali saat proses menggambarnya, seperti dulu, menenangkan, healing. Tapi kali ini aku lebih semangat untuk belajar, tidak langsung menyerah. Ku cari lagi referensi gambar watercolor yang sesuai karakterku. Semakin dicari, semakin algoritma memunculkan banyak watercolor artist yang karyanya bagus-bagus. Aku pun mulai paham teknik apa yang hasilnya sesuai keinginanku, wet on wet. Seperti kata watercolor artist yang aku temukan di Instagram “that’s what’s unique about using watercolor, we can’t get the same work as before”. Karena menggambar wet on wet adalah membiarkan air mewarnai gambar itu sendiri. Ketika aku memahami teknik ini, saat itulah aku jatuh cinta lagi sama watercolor.
Seperti teori “the art of letting things happen” oleh Taoisme yang berarti membiarkan segala sesuatu terjadi secara alami tanpa paksaan atau usaha yang berlebihan. Teknik wet on wet pada watercolor juga membiarkan air membentuk gambarnya sendiri. Walaupun karya watercolorku masih sedikit dan itupun hanya beberapa yang aku sangat suka hasilnya. Tapi prosesnya itu healing sekali. Kuas yang basah bercampur warna yang menari diatas kertas yang basah. Memang saat basah belum jelas bentuknya, tapi ketika sudah kering, jadilah the art of letting water happen. 🤍
Salam,
Suci