SOCIAL MEDIA

Sebenarnya agak bingung ingin memberikan judul untuk tulisan ini. Sudahkah merasa cukup? Sebagai manusia, pasti sering sekali kita merasa tidak cukup. Selalu melihat keatas, bahkan selalu merasa kekurangan.
Tahun 2017, ketika saya memulai merantau ke Jakarta, tinggal sendirian sebagai anak kos. Saya mulai menerapkan hidup minimalis. Saya memulainya dari pakaian. Membawa pakaian ke rantau seadanya dan merasa cukup. Pernah waktu ikut call center training, kami disuruh menggunakan baju batik di satu hari setiap minggunya. Lalu saya hanya membeli satu baju batik, dan memakainya setiap minggu di hari baju batik. Lalu salah seorang teman training celetuk "batik lu ini-ini mulu Ci, emang nggak ada yang lain". Sebelum saya menjawab, ada teman lain yang bantu jawab dengan candaan. Anehnya, saya sama sekali tidak tersinggung dengan pernyataan teman saya. Karena kenyataannya memang hanya punya satu baju batik, and I'm okay. Bahkan bangga, karena tak perlu repot-repot mikir "hari ini pakai baju batik yang mana ya".

*
Cerita tentang saya merasa cukup dengan iphone 6S.

Tahun lalu saya selalu ingin punya ipad pro karena ingin sekali menggambar dari aplikasi procreate yang hanya ada di ipad pro. Tapi tidak diizinkan suami, karena buang-buang uang saja. Juga kata teman-temannya yang anak design grafis lebih bagus wacom dan photoshop untuk menggambar. Setelah dipikir-pikir lagi, benar juga ya. Untuk apa beli ipad pro, saya ingin menggambar untuk apa? Senang-senang saja atau untuk dijadikan bisnis? Toh photoshop juga bisa, hanya perlu belajar lagi. Pertanyaan dan pernyataan seperti itu terlintas dipikiran saya. Konsep hidup minimalis kembali terpikirkan. Beli sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Akhirnya saya melupakan ipad pro, tidak pernah lagi mencari tahu harga atau lihat review tentang ipad pro. Kemudian saya menemukan ada aplikasi yang sama persis dan ini versi pocketnya yang bisa digunakan di iphone. Ternyata iphone 6 saya waktu itu tidak mendukung untuk aplikasi itu. 

Singkat cerita, suami beli iphone 6S yang sebenarnya untuk dia (kebutuhan kerjaan). Malah dikasih ke saya (tukeran dengan iphone 6 saya) karena saya ingin sekali purchase aplikasi procreate pocket. Lalu beli stylusnya di Tokopedia. Dan saya bisa menggambar digital. Tentu saya senang sekali. Itu lebih dari cukup. Menurut saya toolsnya sama dengan yang ada di procreate ipad pro. Hanya saja ini layarnya lebih kecil. Tapi kalau tidak mempermasalahkan hal tersebut, it's okay. Kalau saya menghabiskan lebih banyak uang untuk beli ipad pro, pensilnya, aplikasinya. Mungkin perasaannya akan ada sedikit menyesal, karena begitu banyak uang yang dikeluarkan, yang sebenarnya saya tidak mampu. Sekarang saya tidak iri lagi melihat illustrator yang menggambar dengan ipad pro. Karena saya tahu, procreate pocket di iphone 6S saya sudah cukup.

Saya tidak menyangka konsep hidup minimalis ini bisa begitu melekat dengan saya. Karena untuk saat ini saya sudah merasa cukup dengan iphone 6S saya. Kameranya yang masih bagus, kondisinya yang masih mulus, bahkan sudah ada procreate pocket dan stylus untuk saya belajar gambar. Ini sudah lebih dari cukup. Saya tidak perlu menciptakan rasa cemburu yang saya tahu bahwa saya belum mampu untuk membeli kemewahan.

*
Kata Kak Diana Rikasari, tanya pada dirimu sendiri "What do you want?". Setelah mendengar perkataan itu, saya langsung merefleksikannya pada diri sendiri. "Suci, what do you want?". Saya sudah menjawabnya di jurnal saya. Intinya, saya ingin tetap minimalis dan merasa cukup. Tidak perlu memaksakan kemewahan gaya hidup yang belum mampu saya beli.


SR

Sudahkah Merasa Cukup?

Wednesday, April 22, 2020

Sebenarnya agak bingung ingin memberikan judul untuk tulisan ini. Sudahkah merasa cukup? Sebagai manusia, pasti sering sekali kita merasa tidak cukup. Selalu melihat keatas, bahkan selalu merasa kekurangan.
Tahun 2017, ketika saya memulai merantau ke Jakarta, tinggal sendirian sebagai anak kos. Saya mulai menerapkan hidup minimalis. Saya memulainya dari pakaian. Membawa pakaian ke rantau seadanya dan merasa cukup. Pernah waktu ikut call center training, kami disuruh menggunakan baju batik di satu hari setiap minggunya. Lalu saya hanya membeli satu baju batik, dan memakainya setiap minggu di hari baju batik. Lalu salah seorang teman training celetuk "batik lu ini-ini mulu Ci, emang nggak ada yang lain". Sebelum saya menjawab, ada teman lain yang bantu jawab dengan candaan. Anehnya, saya sama sekali tidak tersinggung dengan pernyataan teman saya. Karena kenyataannya memang hanya punya satu baju batik, and I'm okay. Bahkan bangga, karena tak perlu repot-repot mikir "hari ini pakai baju batik yang mana ya".

*
Cerita tentang saya merasa cukup dengan iphone 6S.

Tahun lalu saya selalu ingin punya ipad pro karena ingin sekali menggambar dari aplikasi procreate yang hanya ada di ipad pro. Tapi tidak diizinkan suami, karena buang-buang uang saja. Juga kata teman-temannya yang anak design grafis lebih bagus wacom dan photoshop untuk menggambar. Setelah dipikir-pikir lagi, benar juga ya. Untuk apa beli ipad pro, saya ingin menggambar untuk apa? Senang-senang saja atau untuk dijadikan bisnis? Toh photoshop juga bisa, hanya perlu belajar lagi. Pertanyaan dan pernyataan seperti itu terlintas dipikiran saya. Konsep hidup minimalis kembali terpikirkan. Beli sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Akhirnya saya melupakan ipad pro, tidak pernah lagi mencari tahu harga atau lihat review tentang ipad pro. Kemudian saya menemukan ada aplikasi yang sama persis dan ini versi pocketnya yang bisa digunakan di iphone. Ternyata iphone 6 saya waktu itu tidak mendukung untuk aplikasi itu. 

Singkat cerita, suami beli iphone 6S yang sebenarnya untuk dia (kebutuhan kerjaan). Malah dikasih ke saya (tukeran dengan iphone 6 saya) karena saya ingin sekali purchase aplikasi procreate pocket. Lalu beli stylusnya di Tokopedia. Dan saya bisa menggambar digital. Tentu saya senang sekali. Itu lebih dari cukup. Menurut saya toolsnya sama dengan yang ada di procreate ipad pro. Hanya saja ini layarnya lebih kecil. Tapi kalau tidak mempermasalahkan hal tersebut, it's okay. Kalau saya menghabiskan lebih banyak uang untuk beli ipad pro, pensilnya, aplikasinya. Mungkin perasaannya akan ada sedikit menyesal, karena begitu banyak uang yang dikeluarkan, yang sebenarnya saya tidak mampu. Sekarang saya tidak iri lagi melihat illustrator yang menggambar dengan ipad pro. Karena saya tahu, procreate pocket di iphone 6S saya sudah cukup.

Saya tidak menyangka konsep hidup minimalis ini bisa begitu melekat dengan saya. Karena untuk saat ini saya sudah merasa cukup dengan iphone 6S saya. Kameranya yang masih bagus, kondisinya yang masih mulus, bahkan sudah ada procreate pocket dan stylus untuk saya belajar gambar. Ini sudah lebih dari cukup. Saya tidak perlu menciptakan rasa cemburu yang saya tahu bahwa saya belum mampu untuk membeli kemewahan.

*
Kata Kak Diana Rikasari, tanya pada dirimu sendiri "What do you want?". Setelah mendengar perkataan itu, saya langsung merefleksikannya pada diri sendiri. "Suci, what do you want?". Saya sudah menjawabnya di jurnal saya. Intinya, saya ingin tetap minimalis dan merasa cukup. Tidak perlu memaksakan kemewahan gaya hidup yang belum mampu saya beli.


SR
Kenapa saya sebut pinterestable? Karena pertama kali saya melihat coffee shop ini di pinterest. Saya kira coffee shop ini ada di Jepang. Setelah dicek lagi, ternyata ada di Indonesia, Bali!

Waktu diajak ke Bali sama suami Agustus 2019 lalu, saya masukkan Mannaka Bali ke list kami. Suami mengiyakan, alhamdulillahnya kesampaian mampir dan minum kopi disini. Ternyata konsep coffee shop Mannaka Bali, Japanese gitu. Terletak di pinggir jalan, kecil, simple, tapi cukup untuk buat foto jadi keren. Minumannya juga enak, saya pesan charcoal latte, suami hot latte (sepertinya, lupa namanya). Oh iya, mereka juga jual merchandise yang lucu-lucu banget. Saya beli totebagnya waktu itu, desainnya lucu, saya suka.

Berikut foto-foto saya dan suami sembari menunggu dan menikmati minuman kami.
Totebagnya yang dipajang di dinding sebelah kiri


Charcoal latte dan hot latte



Mannaka Bali
@mannaka.bali
Jl. Petitenget No.19C, Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Badung, Bali, Indonesia



SR

Mannaka Bali, Coffee Shop yang Pinterestable

Monday, April 13, 2020

Kenapa saya sebut pinterestable? Karena pertama kali saya melihat coffee shop ini di pinterest. Saya kira coffee shop ini ada di Jepang. Setelah dicek lagi, ternyata ada di Indonesia, Bali!

Waktu diajak ke Bali sama suami Agustus 2019 lalu, saya masukkan Mannaka Bali ke list kami. Suami mengiyakan, alhamdulillahnya kesampaian mampir dan minum kopi disini. Ternyata konsep coffee shop Mannaka Bali, Japanese gitu. Terletak di pinggir jalan, kecil, simple, tapi cukup untuk buat foto jadi keren. Minumannya juga enak, saya pesan charcoal latte, suami hot latte (sepertinya, lupa namanya). Oh iya, mereka juga jual merchandise yang lucu-lucu banget. Saya beli totebagnya waktu itu, desainnya lucu, saya suka.

Berikut foto-foto saya dan suami sembari menunggu dan menikmati minuman kami.
Totebagnya yang dipajang di dinding sebelah kiri


Charcoal latte dan hot latte



Mannaka Bali
@mannaka.bali
Jl. Petitenget No.19C, Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Badung, Bali, Indonesia



SR
Perempuan-perempuannya yang cantik, tempatnya yang indah. Gianyar begitu eksotis.

Agustus 2019 lalu, saya dan suami liburan ke Bali. Tempat kami menginap sewaktu sampai di Bali adalah Umah Hoshi, Sebatu, Gianyar, Bali. Mendarat di Bali sekitar pukul 17.00 an WITA, satu jaman nunggu motor sewaan. Akhirnya skip dulu lihat sunset dan makan malam di Jimbaran.

Kami cari tempat makan di pinggir jalan saja, selesai makan lanjut ke penginapan di Sebatu. Jujur, saya tidak mengira kalau tempat menginap kami akan dingin sekali. Itinerary suami yang atur, saya tinggal packing baju saja. Tidak tanya suami juga akan seperti apa weather disana, mikirnya ya Bali pasti panas ya, kan bule-bule pada berjemur ke Bali. Suami bilang kalau Sebatu itu daerah yang lebih tinggi dari kota, masih banyak hutan dan sawah-sawahnya. Tapi tidak bilang disana dingin banget (ternyata dia juga tidak tahu). Saya mikirnya ya tidak akan terlalu dingin, masih bisa ditahan lah, gitu. Ternyata fikiran itu salah besar. Sungguh Sebatu dingin sekaliiii.

Mungkin juga karena perjalanan kami menuju Sebatu sudah malam. Jalanannya sepi, gelap, tidak banyak lampu jalan, dan dingiiinnnn. Sungguh waktu itu saya kedinginan (apalagi suami yang bawa motor ya). Padahal masih pukul 20.00 atau 21.00 an WITA. Karena menuju desa, jadinya hampir tidak ada orang di luar rumah, bahkan rumahnya pun remang-remang gitu (lampu orange). Di tambah dengan pintu rumah Bali yang penuh dengan ukiran, agak merinding ya lihatnya malam-malam.

Di tengah gelap dan dinginnya jalanan, bulan dan bintang terasa terang sekali. Waktu itu banyak sekali bintang di langit Sebatu. Mungkin karena langitnya tidak banyak polusi seperti Jakarta, jadinya bintang seperti bertaburan di langit, indah sekali. Kami sampai berhenti di pinggir sawah untuk menikmati keindahan itu.

Sesampainya di Umah Hoshi, kami tidak bisa melihat pemandangan sekitar karena seperti di perjalanan tadi, gelap dan remang-remang. Disambut oleh resepsionis yang ramah, dengan pakaian khas Bali tidak ketinggalan bunga kamboja di telinganya yang membuat anggun (pokoknya Bali banget deh). Mbaknya juga informatif sekali tentang tempat wisata disekitar Sebatu, Gianyar.
Setelah pagi, semua keindahannya jelas terlihat.

Sesampainya di kamar, ternyata tidak kalah seram ya kamarnya (padahal saya yang request kalau nginap disana saja biar bisa menikmati suasana desanya Bali). Semuanya terbuat dari kayu, dinding, lantai, atap, pintu, meja, bangku, tempat tidur, lemari, bahkan kamar mandinya beratapkan langit (sebagiannya ada atap, tapi tetap agak seram  awalnya), lantai kamar mandi batu-batu putih, bathtub dari batu, hampir semua materialnya dari bahan alami, dan lampu yang masih remang-remang.
Kamar tempat kami menginap di Umah Hoshi

Malam semakin larut, saya tidak bisa tidur. Udara yang begitu dingin hingga 16 derajat Celcius, suara jangkrik yang terdengar jelas, pun suara dedaunan yang terhembus angin. Awalnya saya mengira itu semua seperti film horor, lalu saya menyadari bahwa suara-suara itu nyaman sekali. Kapan lagi saya bisa menikmati suasana seintim itu dengan alam ketika tidur. Akhirnya saya ketiduran juga.

Paginya kami menikmati teh hangat di teras kamar. Lanjut sarapan di restorannya Umah Hoshi. Letaknya di lantai dua, dengan view yang sangat indah. Sarapan ditemani musik khas Bali (akhirnya berganti lagu pop yang melow), disambut suara padi dan daun kelapa yang ditiup angin, juga suara air sungai yang mengalir, damai sekali bukan? Membayangkan lagi saja saya sudah ingin kembali kesana.
View dari Restoran Umah Hoshi

Tempat yang kami kunjungi selama / disekitar Gianyar.

Bali Handara Gate
Untuk foto disini ada tiketnya, kalau tidak salah Rp 30,000 an per orang. Waktu itu lagi ramai, weekend memang. Fotonya antre gitu, tapi antre yang teratur ya.
Awkward ya foto dilihat banyak antrean

Pura Ulun Danu Bratan
Setelah dari Handara Gate, lanjut kesini. Ada tiket masuknya juga, saya lupa berapa harganya. Mungkin Rp 40,000 - Rp 50,000 an per orang. Untung kami sempat foto-foto dengan Puranya, setelah itu kabutnya turun menutupi Pura. Mendadak jadi dingin sekali, saya sampai menggigil. Tapi bule-bule santai aja gitu.
Suami dan selembar uang kertas Rp 50,000

Warung Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku, Ubud
Kalau lagi di Ubud, jangan lupa makan disini ya. Nikmat sekali, terlihat dari fotonya kan. Mohon maaf, saya lupa budget makan disini.

Ubud Traditional Art Market
Saya penasaran saja dengan Pasar Ubud ini, sepertinya hits sekali di Pinterest. Ternyata memang tempat yang dicari bule-bule. Disekitar Ubud Traditional Art Market banyak sekali tempat makan, cafe, bar, toko baju, distro, dll. Yang mungkin menurut bule harganya terjangkau, tapi tidak dengan saya. Saya tidak belanja disini. Kami hanya makan siang di Halal Ubud Burger dan gelato (lupa nama brand gelatonya).

Setelah dari Ubud Tratidional Art Market, kami melanjutkan perjalanan ke hotel berikutnya yang letaknya lebih ke kota agar dekat dengan pantai.

Lalu saya menyadari bahwa Gianyar memang beda. Suasana Balinya masih kental sekali. Perempuannya yang dengan pakaian adat serta bunga kamboja di telinga. Pintu rumah yang Bali sekali. Janur yang dipasang disepanjang jalan. Alamnya yang indah, sejuk. Begitu eksotis, saya tidak tahu harus bagaimana lagi mendeskripsikan keindahan disana. Pokoknya eksotis sekali!

Semoga bisa kembali.


SR

Gianyar - Bali, Tempat yang Eksotis

Thursday, April 9, 2020

Perempuan-perempuannya yang cantik, tempatnya yang indah. Gianyar begitu eksotis.

Agustus 2019 lalu, saya dan suami liburan ke Bali. Tempat kami menginap sewaktu sampai di Bali adalah Umah Hoshi, Sebatu, Gianyar, Bali. Mendarat di Bali sekitar pukul 17.00 an WITA, satu jaman nunggu motor sewaan. Akhirnya skip dulu lihat sunset dan makan malam di Jimbaran.

Kami cari tempat makan di pinggir jalan saja, selesai makan lanjut ke penginapan di Sebatu. Jujur, saya tidak mengira kalau tempat menginap kami akan dingin sekali. Itinerary suami yang atur, saya tinggal packing baju saja. Tidak tanya suami juga akan seperti apa weather disana, mikirnya ya Bali pasti panas ya, kan bule-bule pada berjemur ke Bali. Suami bilang kalau Sebatu itu daerah yang lebih tinggi dari kota, masih banyak hutan dan sawah-sawahnya. Tapi tidak bilang disana dingin banget (ternyata dia juga tidak tahu). Saya mikirnya ya tidak akan terlalu dingin, masih bisa ditahan lah, gitu. Ternyata fikiran itu salah besar. Sungguh Sebatu dingin sekaliiii.

Mungkin juga karena perjalanan kami menuju Sebatu sudah malam. Jalanannya sepi, gelap, tidak banyak lampu jalan, dan dingiiinnnn. Sungguh waktu itu saya kedinginan (apalagi suami yang bawa motor ya). Padahal masih pukul 20.00 atau 21.00 an WITA. Karena menuju desa, jadinya hampir tidak ada orang di luar rumah, bahkan rumahnya pun remang-remang gitu (lampu orange). Di tambah dengan pintu rumah Bali yang penuh dengan ukiran, agak merinding ya lihatnya malam-malam.

Di tengah gelap dan dinginnya jalanan, bulan dan bintang terasa terang sekali. Waktu itu banyak sekali bintang di langit Sebatu. Mungkin karena langitnya tidak banyak polusi seperti Jakarta, jadinya bintang seperti bertaburan di langit, indah sekali. Kami sampai berhenti di pinggir sawah untuk menikmati keindahan itu.

Sesampainya di Umah Hoshi, kami tidak bisa melihat pemandangan sekitar karena seperti di perjalanan tadi, gelap dan remang-remang. Disambut oleh resepsionis yang ramah, dengan pakaian khas Bali tidak ketinggalan bunga kamboja di telinganya yang membuat anggun (pokoknya Bali banget deh). Mbaknya juga informatif sekali tentang tempat wisata disekitar Sebatu, Gianyar.
Setelah pagi, semua keindahannya jelas terlihat.

Sesampainya di kamar, ternyata tidak kalah seram ya kamarnya (padahal saya yang request kalau nginap disana saja biar bisa menikmati suasana desanya Bali). Semuanya terbuat dari kayu, dinding, lantai, atap, pintu, meja, bangku, tempat tidur, lemari, bahkan kamar mandinya beratapkan langit (sebagiannya ada atap, tapi tetap agak seram  awalnya), lantai kamar mandi batu-batu putih, bathtub dari batu, hampir semua materialnya dari bahan alami, dan lampu yang masih remang-remang.
Kamar tempat kami menginap di Umah Hoshi

Malam semakin larut, saya tidak bisa tidur. Udara yang begitu dingin hingga 16 derajat Celcius, suara jangkrik yang terdengar jelas, pun suara dedaunan yang terhembus angin. Awalnya saya mengira itu semua seperti film horor, lalu saya menyadari bahwa suara-suara itu nyaman sekali. Kapan lagi saya bisa menikmati suasana seintim itu dengan alam ketika tidur. Akhirnya saya ketiduran juga.

Paginya kami menikmati teh hangat di teras kamar. Lanjut sarapan di restorannya Umah Hoshi. Letaknya di lantai dua, dengan view yang sangat indah. Sarapan ditemani musik khas Bali (akhirnya berganti lagu pop yang melow), disambut suara padi dan daun kelapa yang ditiup angin, juga suara air sungai yang mengalir, damai sekali bukan? Membayangkan lagi saja saya sudah ingin kembali kesana.
View dari Restoran Umah Hoshi

Tempat yang kami kunjungi selama / disekitar Gianyar.

Bali Handara Gate
Untuk foto disini ada tiketnya, kalau tidak salah Rp 30,000 an per orang. Waktu itu lagi ramai, weekend memang. Fotonya antre gitu, tapi antre yang teratur ya.
Awkward ya foto dilihat banyak antrean

Pura Ulun Danu Bratan
Setelah dari Handara Gate, lanjut kesini. Ada tiket masuknya juga, saya lupa berapa harganya. Mungkin Rp 40,000 - Rp 50,000 an per orang. Untung kami sempat foto-foto dengan Puranya, setelah itu kabutnya turun menutupi Pura. Mendadak jadi dingin sekali, saya sampai menggigil. Tapi bule-bule santai aja gitu.
Suami dan selembar uang kertas Rp 50,000

Warung Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku, Ubud
Kalau lagi di Ubud, jangan lupa makan disini ya. Nikmat sekali, terlihat dari fotonya kan. Mohon maaf, saya lupa budget makan disini.

Ubud Traditional Art Market
Saya penasaran saja dengan Pasar Ubud ini, sepertinya hits sekali di Pinterest. Ternyata memang tempat yang dicari bule-bule. Disekitar Ubud Traditional Art Market banyak sekali tempat makan, cafe, bar, toko baju, distro, dll. Yang mungkin menurut bule harganya terjangkau, tapi tidak dengan saya. Saya tidak belanja disini. Kami hanya makan siang di Halal Ubud Burger dan gelato (lupa nama brand gelatonya).

Setelah dari Ubud Tratidional Art Market, kami melanjutkan perjalanan ke hotel berikutnya yang letaknya lebih ke kota agar dekat dengan pantai.

Lalu saya menyadari bahwa Gianyar memang beda. Suasana Balinya masih kental sekali. Perempuannya yang dengan pakaian adat serta bunga kamboja di telinga. Pintu rumah yang Bali sekali. Janur yang dipasang disepanjang jalan. Alamnya yang indah, sejuk. Begitu eksotis, saya tidak tahu harus bagaimana lagi mendeskripsikan keindahan disana. Pokoknya eksotis sekali!

Semoga bisa kembali.


SR
My new happiness is my new blogger template :)

Ternyata sesuatu yang ditata ulang itu (termasuk blog) bisa menaikkan hormon endorfin juga ya. Tahun 2019 lalu, saya hanya posting satu tulisan saja. Entah kenapa, tidak semangat untuk membuat tulisan, padahal banyak sekali yang bisa saya ceritakan, mulai dari yang duka hingga yang suka. 

Setelah saya posting tulisan terakhir saya yang insomnia . Itu benar-benar mengembalikan mood saya. Setelah tulisan itu saya posting, saya langsung mengantuk sekali padahal masih pukul 20.00. Rasanya legaaaa sekali. Tapi waktu itu tetap tidurnya jam 00.00 an, itu lebih baik untuk saya daripada masih melek jam 02.30 (walaupun sebenarnya tidak baik ya). 

Akhirnya saya mengurangi membaca berita tentang Covid-19. Saya malah melihat-lihat kembali blogger yang saya ikuti, blognya Kak Diana Rikasari dan Kak Dindaps. Sebelumnya saya nonton live IG mereka, dan ada salah satu followers mereka bertanya ke Kak Diana "Bagaimana caranya tetap konsisten ngeblog?". Kak Diana jawab "pokoknya dia merasa ada yang kurang kalau dia tidak ngeblog sehari, walaupun hanya posting quotes atau foto, karena ngeblog adalah penutup harinya yang sudah lelah berkegiatan di siang hari" (lebih kurang seperti itu ya jawaban Kak Di). Saya jadi ingat tujuan saya ngeblog 6 tahun lalu, sharing to get happiness. Menceritakan isi fikiran saya yang tidak bisa saya ceritakan dengan lisan. Menceritakan isi fikiran saya yang sepertinya terlalu panjang kalau diceritakan di media sosial.

Lalu hari ini, saya baru tau kalau Kak Dindaps punya blog baru, karena dia sudah tidak mood dengan blog lamanya. Blog barunya Kak Dindaps refreshing sekali. Saya langsung kepikiran untuk mengganti template agar lebih fresh juga. And it works, terjadilah tulisan ini. I'm happy, alhamdulillah :)

Ini foto waktu saya dan suami memburu sunset di Candi Ratu Boko, Yogyakarta, Januari lalu. Kami sangat bahagia, akhirnya melihat sunset Jogja juga.

Kalau kamu sudahkah bahagia hari ini?


-SR- 

New Happiness

Wednesday, April 1, 2020

My new happiness is my new blogger template :)

Ternyata sesuatu yang ditata ulang itu (termasuk blog) bisa menaikkan hormon endorfin juga ya. Tahun 2019 lalu, saya hanya posting satu tulisan saja. Entah kenapa, tidak semangat untuk membuat tulisan, padahal banyak sekali yang bisa saya ceritakan, mulai dari yang duka hingga yang suka. 

Setelah saya posting tulisan terakhir saya yang insomnia . Itu benar-benar mengembalikan mood saya. Setelah tulisan itu saya posting, saya langsung mengantuk sekali padahal masih pukul 20.00. Rasanya legaaaa sekali. Tapi waktu itu tetap tidurnya jam 00.00 an, itu lebih baik untuk saya daripada masih melek jam 02.30 (walaupun sebenarnya tidak baik ya). 

Akhirnya saya mengurangi membaca berita tentang Covid-19. Saya malah melihat-lihat kembali blogger yang saya ikuti, blognya Kak Diana Rikasari dan Kak Dindaps. Sebelumnya saya nonton live IG mereka, dan ada salah satu followers mereka bertanya ke Kak Diana "Bagaimana caranya tetap konsisten ngeblog?". Kak Diana jawab "pokoknya dia merasa ada yang kurang kalau dia tidak ngeblog sehari, walaupun hanya posting quotes atau foto, karena ngeblog adalah penutup harinya yang sudah lelah berkegiatan di siang hari" (lebih kurang seperti itu ya jawaban Kak Di). Saya jadi ingat tujuan saya ngeblog 6 tahun lalu, sharing to get happiness. Menceritakan isi fikiran saya yang tidak bisa saya ceritakan dengan lisan. Menceritakan isi fikiran saya yang sepertinya terlalu panjang kalau diceritakan di media sosial.

Lalu hari ini, saya baru tau kalau Kak Dindaps punya blog baru, karena dia sudah tidak mood dengan blog lamanya. Blog barunya Kak Dindaps refreshing sekali. Saya langsung kepikiran untuk mengganti template agar lebih fresh juga. And it works, terjadilah tulisan ini. I'm happy, alhamdulillah :)

Ini foto waktu saya dan suami memburu sunset di Candi Ratu Boko, Yogyakarta, Januari lalu. Kami sangat bahagia, akhirnya melihat sunset Jogja juga.

Kalau kamu sudahkah bahagia hari ini?


-SR- 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...